Code Tak Sekedar Kali…

Adalah sebuah tempat bernama Code di Yogyakarta. Apa sih istimewanya tempat ini?

Hmmm….banyak sekali yang ingin kuceritakan tentang tempat ini.

Jujur saja nih, tempat ini jauh dari estetika keindahan dan kebersihan. Di kala hujan, sampah mudah menyangkut di sana-sini. Di saat kemarau, hmm…baunya menyengat sekali.. karena air tak mengalir, maka segala sisa sampah rumah tangga teronggok di selokan di bawah rumah penduduk. Jangan coba menghitung lalat yang setia bersarang di sana….

Code, sebenarnya adalah kali yang membelah tepat di tengah kota Yogyakarta. Tak jelas sejak kapan bantaran kalinya ini mulai dihuni. Namun sampai kini, lokasi sepanjang kali ini tampaknya semakin padat saja..

Alkisah, pemukiman padat di bawah jembatan yang identik dengan kaum marginal (baca: pengemis dan pemulung) ini pernah suatu waktu di tahun 1983 hendak digusur oleh pemerintah kota. Saat itu, beberapa orang bereaksi dengan idealisme dan kepentingan masing-masing.

Seorang sederhana berjiwa besar dan bersahaja, berjuang keras untuk membela kaum terpinggirkan ini. Dialah Romo Y.B Mangunwijaya, seorang romo yang juga seorang sastrawan, sekaligus arsitek- yang terus berjuang dengan nyata untuk membela sekaligus memberdayakan masyarakat ini.

Beliau membangun rumah-rumah penduduk yang jauh lebih layak untuk dihuni. Beliau juga membangun sebuah rumah panggung yang oleh masyarakat di situ digunakan untuk berkumpul, saling bertukar informasi dan juga sebagai tempat untuk menerima tamu dari luar. Tak hanya itu, lingkungan pun ditata dengan melibatkan masyarakat. Tempat yang tadinya jauh dari higienis, pelan namun pasti berubah menjadi layak ditinggali dengan nyaman.

Lambat laun, kehidupan masyarakat Code mulai tertata. Pembagian teritori kelurga menjadi jelas, meskipun dalam rumah yang sangat amat sangat sederhana. Yah, setidaknya, rumah itu dapat melindungi mereka dari terik matahari dan air hujan.

Melangkah lebih jauh, Romo Mangun mulai mendidik masyarakat Code. Diberinya pengajaran dan pendidikan. Dengan ikhlas, tulus, tak ada kepentingan apapun dalam hal ini. Di kemudian hari, beliau ini mendapat penghargaan sebagai arsitek dan pemberdaya masyarakat. Meskipun kuyakin, beliau sendiri tak pernah merencanakan untuk mendapatkan gelar kehormatan atau imbalan dalam bentuk apapun.Tentangan dan hujatan, dan tindakan represif dari pemerintah tak menggoyahkan semangatnya. Beliau maju terus pantang mundur.

Kemudian, anak-anak mulai didorong untuk sadar betapa pentingnya sekolah dan pendidikan.

Para orang tua pun mendapat pendidikan ketrampilan, agar mereka dapat berdaya dengan kemampuan sendiri, tak lagi mengandalkan mengemis untuk mencari uang. Romo Mangun sendiri, menurut penduduk, adalah seorang yang hangat dan ramah, namun juga tegas. “galak” menurut orang-orang, terlebih saat penduduk mulai bertindak semau gue. Romo Mangun tak segan menegur mereka.

Lho, apa sih hubungan seorang Nana dengan Romo Mangun dan Code itu?

Well, Romo Mangun secara pribadi kukenal karena kebetulan beliau adalah sahabat nenekku. Aku sangat mengagumi semangat dan dedikasi beliau.

Saat aku kuliah, dan tinggal di Syantikara, sebuah asrama khusus mahasiswi putri, aku merasa itulah waktu yang tepat untukku lebih mengenal perjuangan Romo Mangun.

Kebetulan, di Syantikara, setiap penghuninya diwajibkan unutk memilih minimal satu kegiatan sosial (mengajar kaum marginal) dan atau rohani (paduan suara, pendalaman iman). Aku memutuskan menjadi volunteer di Code. Empat tahun aku menjadi volunteer di sana.

Seminggu sekali sesuai jadwal, aku kesana bersama teman sekelompok, (minimal dua, maksimal lima orang). Kami bersepeda (butut) tua nan jadul ke sana. Sesuai kesepakatan, kami pergi ke sana dengan pakaian sederhana. Perhiasan seperti cincin, kalung dan gelang harus dilepas di asrama. Nah, teman sekelompok lah yang mengingatkan saat salah seorang dari kami lupa melepas perhiasan tersebut.

Oh ya, kami tak bisa mangkir dari jadwal mengajar di Code. Saat kami sakit, berhalangan ataupun untuk belajar mempersiapkan ujian esok hari, kami harus mencari pengganti yang bersedia bertukar jadwal mengajar. Catatan: jangan mendadak juga loh….Sekali bergabung dengan kelompok sosial ini, dia tak bisa keluar begitu saja dan beralih ke kegiatan lain. Suster kepala yang akan mengijinkan atau tidak, tergantung pada alasan yang dikemukakan.

Setiap kali tiba jadwal mengajar, para volunteer on duty (haiyahh…istilahnya, please!) -diberi kesempatan untuk makan malam lebih awal. Tepat setengah tujuh, kami sudah harus berangkat, mengayuh sepeda tua milik asrama. Saat suster melihat sepeda kami masih utuh di tempatnya, suster akan berkeliling kafetaria tempat kami makan dan berteriak mengingatkan”, Code! Code!! Hayo…Code! Code!!” hihihi…kayak kondektur ya?  Hmm….Artinya tuh, kami harus bergegas berangkat.

Inilah yang selalu ditekankan suster Ben, “Ayo disipilin! Jangan terlambat! Kalau bukan kedisipilinan dan ilmu, apa lagi yang bisa kalian tawarkan?”

Hanya hujan lebat sejuta badai yang mengijinkan kami absen mengajar. Kalau hujan gerimis saja, suster memberi kelonggaran. Kami berangkat dengan angkot reot yang lewat depan asrama. Pulangnya, kami boleh naik becak, dan dibayarin suster! Nggak ding, itu sebenarnya uang khas asrama untuk masing-masing kegiatan. Hehe..

Aku ingat, hanya Rp 500,- jatah kami seorang untuk naik becak. Kadang-kadang, saat usai mengajar dan hujan telah reda, kami berjalan kaki pulang. Kasihan pak becaknya, jalan pulang ke asrama termasuk mendaki lho…Lalu uang itu? Utuh dong? Bisa buat jajan dong di sepanjang jalan?

Hohoho…enggakk! uang itu akan dikembalikan pada suster. Bisa aja sih, kami nggabrul, -toh suster nggak akan tau. Tapi, dengan kesadaran sendiri, kami,-setidaknya partnerku selama itu- nggak pernah punya pikiran korup seperti itu.

Apa dong yang bisa kami lakukan di Code ini?

Kami dilarang keras memberikan materi. Sekecil apapun. Sebutir permen pun tak boleh. Sebab, sekali kau memberikan sesuatu pada seorang anak, yang lain pun harus mendapatkan barang yang sama. Bila tidak, kecemburuan sosial mudah tersulut. Lebih parah lagi, jika  mereka sampai terus mengharapkan akan memperoleh sesuatu dari kita.

Jadi kami datang hanya berbekal ilmu. Nggak muluk-muluk sih, minimal ilmu yang sudah pernah kami dapatkan sejak dari TK hingga SMA. Aku tak bermaksud untuk menyepelekan kemampuan kognitif mereka. Tapi, yeah, mereka ini sulit menangkap materi pelajaran. Jadi kami para volunteer membantu mereka mengerjakan PR atau menjelaskan suatu materi pelajaran. Kami dilarang keras memberikan jawaban PR secara langsung. Kami harus bisa mengajari cara mendapatkan jawaban tersebut, dengan bahasa paling sederhana yang mudah mereka pahami.

Sebenarnya, yang memprihatinkan adalah mereka tak benar-benar termotivasi untuk sekolah lebih tinggi. Keterbatasan ekonomi menjadi penyebabnya. Terlebih, sedari kecil sebagian besar dari mereka sudah menghasilkan uang sendiri. Dari menjual koran, menyemir, dan mengamen. Mereka melihat generasi di atas mereka juga hanya cukup lulus SD atau SMP, cari uang toh ada saja caranya. Jadi, kalau mereka tak sadar untuk keluar dari lingkungan itu, mereka akan terus terpuruk di situ.

Biasanya Sabtu sore, saat untuk ketrampilan dan edukasi alternatif dengan bahan seadanya yang ada di situ. Di pinggir sungai itu, kami mengecat atau melukis batu. Para volunteer mengupakan pengadaan cat, lalu anak-anak bebas melukis batu yang tak perlu dibeli.

Kadang, kami bermain secara kelompok, seperti gobak sodor, atau betengan. Dari permainan itu anak-anak belajar sportif dan bermain jujur.

Setidaknya, sebulan sekali, mereka kami ajak jalan-jalan di hari Minggu pagi. Sekedar keliling boulevard UGM, atau pernah, melihat-lihat ternak di Fakultas Peternakan UGM.  Catatan: bawa bekal atau uang sendiri. Mas-mas dan mbak-mbak tidak akan pernah mentraktir mereka jajan. Dan mereka sadar itu.

Tak jarang, mereka mengumpat atau bicara kasar. Di situlah kami mencoba untuk menegur mereka untuk bicara lebih sopan. Kami juga harus berhati-hati saat menyampaikan “nilai normatif” yang kami anut. Duh, sombong sekali ya tampaknya kalau kita sebagai orang asing tiba-tiba datang menyodorkan “nilai” yang jelas berbeda dengan kebiasaan keseharian mereka…

Kadang-kadang, kami mengobrol dengan para orang tua. Dari obrolan itu kami semakin tau, bahwa meskipun mereka itu miskin, tapi mereka juga punya harga diri. Mereka ogah dijadikan tontonan, meskipun tak berdaya saat orang-orang asing datang melihat-lihat kondisi mereka itu. Mungkin benar, iba yang berlebihan justru akan melukai mereka.

Ah, rasanya belum ada apa-apanya keterlibatanku di sana dibandingkan dengan apa yang telah diupayakan Romo Mangun. Untuk membuat mereka berubah dari tatanan dan pola hidup yang telah melekat erat rasanya hampir mustahil kalau kita tidak benar-benar hidup berbaur dengan mereka, dari matahari terbit, terbenam hingga terbit lagi. Romo Mangun bisa membuat perubahan besar itu, karena beliau mau merendahkan diri, sungguh-sungguh hidup di sana, berbaur dengan kaum pinggiran yang semakin terpinggir itu.

Aku bahkan tak berani menyatakan aku sudah bisa membuat perubahan di sana,           -sekecil apapun itu-…ah, tidak, terlalu sombong itu…

Sekarang, di manapun aku berada dan melihat pemukiman kumuh, aku selalu teringat pada Code, tempat yang sekali waktu dulu pernah begitu akrab denganku. Tempat berbaur dengan orang-orang sederhana, dan orang-orang muda yang mau peduli secara nyata menjadi sukarelawan di sana, menawarkan sepotong  persahabatan tanpa imbalan sedikitpun.

Ah, harus kuakui, kawan, aku mendapat anugrah besar di sana. Seorang volunteer, menjadi kawan karibku, dan bersedia menjadi pendamping seumur hidupku hingga kini…

****

Anda pernah bersahabat dengan orang-orang sederhana seperti mereka?

About nanaharmanto

menulis dengan hati....
This entry was posted in Uncategorized and tagged , , , , , , , . Bookmark the permalink.

36 Responses to Code Tak Sekedar Kali…

  1. ikkyu_san says:

    hmmm Nana… memang sulit ya VOLUNTEER itu. Tidak bisa seenaknya saja. Jangan sampai kita memanjakan mereka tapi juga jangan sampai merendahkan mereka. Sulit loh mengendalikan diri dalam melakukan pekerjaan sosial seperti itu. Aku salut kamu berhasil melakukannya selama 4 tahun. Hebat!

    EM

    • nanaharmanto says:

      Makasih ya Mbak….
      iya Mbak, gampang-gampang susah…kadang ada kejenuhan juga, tapi syukurlah aku bisa bertahan juga lumayan lama. aku berusaha konsisten dgn pilihanku, Mbak…
      tapi mungkin juga karena ada volunteer cowok yg ganteng-ganteng juga kali ya aku bisa betah? hihi….*wink wink…melirik rumah sebelah….du du u…

  2. aurora says:

    wah.. tulisan ini sun gguh memberi motivasi kak…. karena bukan cuma disana, di padang pun, banyak yang seperti itu, namun, tentunya belum ada seseorang setingkat romo untuk membimbing mereka…. mudah-mudahan aku bisa nantinya…

    • nanaharmanto says:

      di mana-mana kaum marginal ini pasti selalu ada, Rif…
      tinggal ada nggak yang tergerak untuk memberdayakan mereka..
      Dan pasti susah sekali untuk masuk komunitas mereka, apalagi yang tidak menawarkan materi..
      Semoga Arif dan kawan-kawan bisa melakukan sesuatu untuk mereka ya…

  3. DV says:

    Kowe janjian karo Krismariana pho, kok postingan kalian senada hehehehe :))
    Satu yang slalu kukenang dari Romo Mangun adalah ia ternyata yang mendesain/jadi arsitek mesjid raya Klaten, kota lahirku 🙂

    • nanaharmanto says:

      hehehe….* clingak clinguk nggoleki Kris…
      ya gitu deh, Don hehehe…
      Hebat yo Romo Mangun ki? dia tuh nggak cuma OT, omong thok, tapi bener-bener berkarya nyata…Ampuh tenan…

  4. zaq says:

    hanya ada satu kata yang terbayang dipikiran saat ngebaca tulisan ini:

    HEBAT

    (dalam berbagai arti)

  5. krismariana says:

    @DV: hahaha… kami kan sehati Don. 😉

    Na, salut deh sama kamu. Empat tahun ya jadi volunteer di Code? Aku di Pingit berapa tahun ya? Kayaknya nggak terlalu lama. Memang untuk benar2 bisa berbaur dengan mereka itu tidak mudah. Butuh energi besar.

    • nanaharmanto says:

      Thanks ya Nik?
      aku juga gumun kok betah yo aku di sana sekian lama? hehe…
      tapi mgkn karena orang-orangnya enak diajak kerjasama, temen-temen volunteer juga asyik-asyik dan nggak jaim..ada yang ganteng lagi..hihi…

  6. nh18 says:

    Tiga Hal …
    #1.
    “Kami dilarang keras memberikan materi”

    Saya suka norma ini …
    Ini mendidik mereka untuk berdikari … tak tergantung belas kasihan …
    untuk sebutir permen sekalipun …

    #2.
    Uang yang 500 rupiah itu … ah luar biasa Na … luarbiasa sekali … Saya kagum …

    #3.
    And yess …
    From “Code with Love” ceritanya nih …
    Salam untuk suami mu ya …
    He must be a great guy then … 🙂

    Salam saya

    • nanaharmanto says:

      #1. yesss….betul Om…kadang-kadang, ada keinginan juga untuk memberi sesuatu, tapi untunglah kami konsisten dari awal…

      #2. 500 rupiah saat itu termasuk gede Om, lha wong naik angkot masih 100 perak..

      #3. “From Code with Love” huhahaha….boleh nih istilahnya…trimakasih ya Om…jadi ide untuk bikin tulisan baru nih…hihi…du du du..

    • tutinonka says:

      @ Om Nh :
      untuk #3. Setuju Om. “He must be a great guy then …”
      Kapan nih dikenalin? 🙂 🙂

  7. Riris E says:

    Senada dengan para komentator di atas..cieeh..kamu sehati ya sama Kris? hahahah

    Apa yang kamu pikir belum apa-apa itu sebenarnya sudah memberikan warna tersendiri bagi para kaum marjinal.

    Suka sekali dengan tulisan ini!!

  8. AFDHAL says:

    tulisan yang blok itu loh….
    saya sukkkkaaaaaaaaaaaaaa

    :::
    Ayo disipilin! Jangan terlambat! Kalau bukan kedisipilinan dan ilmu, apa lagi yang bisa kalian tawarkan?”

    inginku memberikan ilmu kepada mereka

    • nanaharmanto says:

      hehe…Afdhal, aku baru merasakan arti kata-kata itu lama setelah aku keluar dari asrama..
      Dulu sih, hihi…jujur aja, suka sebel kalau suster udah ngoprak-oprak begitu…sekarang malah kangen teriakan itu…

  9. jeunglala says:

    Duh, somehow, baca tulisan ini bikin aku terharu dan mbrebes mili 😀

    Jadi, jadi,
    volunteer yang ketemu di Code itu ganteng, ya, MBak? kenalin, dong.. hihihi

    • nanaharmanto says:

      hehehe…ya jelas ganteng lah, La…makanya aku mau hihihi…kalau dia ayu, cantik, gemulai, hmmmm…aku pasti ogaaaah hehehe….
      Emang jeruk makan jeruk? hihi…

  10. JR says:

    wakh panjang buanget tulisannya…

  11. septarius says:


    Salut dan bangga sama mbak Nana bukan hanya berjiwa sosial tp juga rendah hati..
    Bisa jadi contoh buat anak2 muda sekarang..

    Cukup deh mujinya ntar helm mbak Nana jd kekecilan deh hi..hi..
    Kalo gak salah romo mangun juga pernah bikin buku ya, mbak Nana tau gak judul2nya..?

  12. Ade says:

    Waa ternyata di sana ternyata cinta bersemi yaa.. salam buat suaminya ya mba 😉

  13. Hmmm
    artikel ini jadi bahan perenungan gue mbak!
    Thanks ya

    • nanaharmanto says:

      Thanks juga Ka, udah mau mau membaca…*panjang kali yak…hehe…

      Ini sekedar sharing pengalaman sederhana saja Ka…

  14. Mamaray says:

    Membaca ini saya jadi berpikir, masa pensiun akan digunakan untuk hal-hal sosial seperti ini… (moga-moga bisa)

  15. tutinonka says:

    Ya, perumahan di pinggir kali Code yang dibangun oleh Romo Mangun itu memang sangat fenomenal. Saya belum pernah turun langsung ke sana, tapi sering melihat dari kejauhan (dari jembatan Gondolayu). Foto-fotonya pernah dimuat di majalah juga. Semoga sepeninggal Romo Mangun, komunitas itu tetap terjaga.

    Saya beberapa kali ketemu Romo Mangun. Kebetulan beberapa teman saya (arsitek dan budayawan) adalah murid-murid Romo Mangun, jadi saya beberapa kali diajak ketemu beliau. Novel-novelnya juga saya banyak baca.

    • nanaharmanto says:

      Konon waktu menjelang dibangun juga menuai kontroversi, hanya saat itu saya belum mengerti apa yang diributkan. tahun 1983an saya masih SD..

      Alm. Romo Mangun adalah salah satu “guru besar” yang sangat saya kagumi..Wah, Bu Tuti baca novel Balada Dara-dara mendut juga? salah satu tokohnya, Singkek, itu adalah nenek saya..

  16. san says:

    Salam kenal. Tulisan atas pengalamannya bagus sekali. Minta ijin untuk share di facebook saya boleh ?
    san

  17. Pingback: Dongeng « sejutakatanana

  18. Clara Croft says:

    Mba.. saya selalu suka cerita tentang nenek Mba dan Romo Mangun.. hehe.. 🙂

    saya suka semua yang ada di cerita ini.. sampe saya bingung mau komen apa..

  19. good man says:

    saya mau jadi volunteer, saya bisa ngajar ngaji..

Leave a reply to JR Cancel reply