Eman-eman Srengengene…

 Eman-eman= sayang.

Srengenge=matahari.

Sayang panas mataharinya (kalau tidak dimanfaatkan).
Saat aku masih kanak-kanak dulu, aku mendengar simbah buyutku –Mbah Suyat- berkata bahwa mencuci baju sebaiknya pagi-pagi betul, agar bisa segera dijemur sepanjang hari di bawah matahari. Simbah akan menyambung dengan rerasan begini, “Muga-muga panas terus… atau Mbok aja udan”. –semoga panas terus, jangan hujan dulu.
Sesekali maka giliran kasur, bantal-bantal dan selimut digelar di halaman belakang.
Kalau hari mendung, maka hari itu disibukkan dengan menjemur dan mengangkat pakaian. Sebelum gerimis turun, jemuran diangkat.
Begitu matahari muncul, simbah dan asisten rumah tangga di rumahku segera menganalisa dengan sedikit spekulasi, akan bertahan lamakah sinar matahari kali ini? Kalau perkiraan mereka panas akan cukup awet, opera laundry digelar kembali. 🙂

“Eman-eman srengengene”. Begitu yang selalu simbah katakan.
Aku yang masih kecil tak paham apa arti ucapan simbah itu. Buat apa kok harus dieman-eman? Toh matahari bersinar setiap hari.. gratis! toh besok pagi dia akan muncul lagi dari balik punggung Merapi sana dengan rona khasnya sebelum gelap subuh benar-benar menghilang.
Kenapa sih, harus disayang-sayang?
Aku benar-benar tak mengerti.

 

****

Kadangkala, pemahaman itu bagai puzzle. Datang tak terduga entah di keping yang mana. Muncul tiba-tiba. Membuat susunan keping lain menjadi klop. Pas.
Puzzle pertama tentang simbah buyut almarhum yang hobi ngeman-ngeman srengenge.

 
Puzzle kedua.
Aku bertemu turis asing di Bali yang memintaku untuk memotret mereka. Kurasa dia berkata sungguh-sungguh. “You have a very, very beautiful country, glittering in sunshine aaaall day… the day is allways bright! I envy you. I mean it”.

 

 
Lalu aku bertemu sepasang turis romantis yang ingin mengabadikan diri dengan latar sunset di pantai. Mereka juga memuji keindahan sunset yang tak pernah mereka temukan seindah itu di tempat lain.
“Di tempat kami, kami tidak pernah mengalami sunset seindah ini… matahari tenggelam begitu saja di balik bayang-bayang menara dan gedung dan  bertingkat. Di sini benar-benar luar biasa!”
Aku jadi tercenung. Benar, kita yang berkelimpahan sinar matahari sepanjang tahun, sering lupa untuk mensyukuri anugerah luar biasa ini. Mereka yang tinggal di negeri dingin, bahkan rela mengeluarkan uang lebih untuk menghindari musim dingin demi mendapatkan hangatnya matahari.
Banyak orang berbondong-bondong menuju tempat-tempat yang terkenal akan keindahan sunrise dan sunsetnya. Rela berangkat dini hari, mendaki gunung bahkan hingga menginap di dalam tenda bertekat tiba tepat waktu demi mengabadikan moment terindah dengan kamera mereka. Suatu kepuasan tersendiri bagi beberapa orang untuk bisa memamerkan keindahan itu pada mereka yang tidak bisa menyaksikannya langsung.
Puzzle ketiga. Aku bertemu seorang tukang pijat. Mbah Roso namanya. Dia sudah meninggal beberapa tahun lalu, tapi sederhana tuturnya masih kuingat jelas.
Bahwa manusia itu ribet, tak pernah puas. Tidak jelas maunya apa. Dikasih panas minta hujan, dikasih hujan minta panas.
“Wahh..mendung! Mbok aja udan sik…”.
“Ediannn… panase ra umum! Mbok udano..”.
“Walah wes grimis! Cucianku durung garing!”
“Udanoo sing deresss! Ning ojo banjir!”
Tuh, kan? Manusia cerewet tak pernah berterima kasih pada alam, maunya mengatur sekehendak hati.
Menurut Mbah Roso, alam sudah menyediakan yang terbaik hari ini, untuk hari ini. Kita tinggal nrimo dan sujud syukur aja kok susah. Seandainya alam bisa serta merta menuruti kehendak kita, oh alangkah kacaunya!
Bayangkan andai seseorang minta hujan dengan syarat jangan banjir, tetangganya minta panas tapi jangan terlalu menyengat, yang lain minta hawa adem, dan diikuti karep /kemauan aneh-aneh lainnya, alam pasti kewalahan meladeni kita.
Sebentar gerimis…
sebentar panas…
tiba-tiba hujan deres makbress!!
Nah, repot kan..
hmm… matur nuwun Mbah Roso, darimu aku belajar untuk tidak pernah lagi mendikte alam.

 

 

Puzzle keempat.
Beberapa tahun lalu, kami tinggal di Wilayah Indonesia Tengah. Panas sangat jangan ditanya. 😉
Ketika kembali ke Jawa, sering kudengar orang mengeluh tentang hawa yang panas. Jika boleh kubandingkan, panasnya  belum  segalak wilayah Indonesia Tengah.
Terima kasih Borneo dan Celebes, darimu aku belajar untuk tidak mengeluhkan mataharimu..

 

****

Beberapa pekan terakhir, cuaca benar-benar aneh. Panas sebentar, lalu tiba-tiba mendung tebal. Sedikit gerimis. Berhenti. Lalu tiba-tiba panas terik menyengat. Sejenak meredup, lalu panas lagi segarang-garangnya.
Mungkin karena cuaca yang agak kacau begini, bergantian aku dan suamiku batuk flu parah disertai demam. Kebiasaanku sejak dulu, setelah salah satu dari kami sembuh dari sakit, segera aku mengganti sprei, selimut sarung bantal dan guling. Lalu kujemur pula bantal dan guling supaya bakteri enggan tinggal.

 

Well, beberapa kali cucianku tak kering sempurna  dalam sehari. Matahari sedang lesu. Sinarnya nampak hanya beberapa menit saja.
Kemarin, pagi dimulai dengan cerah. Kuganti semua kain bed setelah semingguan suamiku sakit. Kubuka jendela agar angin segar masuk.
“Ah, aku mau jemur bantal guling! Eman-eman srengengene!”.
Spontan saja terucap. Sampai aku geli sendiri.
Hahaha… puzzle simbah buyutku kuwarisi sekarang, matur sembah nuwun, Mbah Suyat..

 

sunset Bali

sunset Bali , 2014

 

 

note: foto dokumen pribadi

About nanaharmanto

menulis dengan hati....
This entry was posted in Consideration and tagged , , , , , , , . Bookmark the permalink.

4 Responses to Eman-eman Srengengene…

  1. Imelda says:

    betul Na, kita sering tidak menyadari anugerah Tuhan melalui alam. Aku tiga hari ini hujan terus, rindu matahari. Dan begitu diprediksi besok cerah, biasanya aku cuci baju malam hari utk langsung dijemur. Jadi begitu matahari terbit bisa kena panasnya. Dan khusus hari cerah aku bisa nyuci sampai 2-3 kali!
    Sunrise di Borobudur dan sunset di Candi Boko…. indah!

    • nanaharmanto says:

      Hai Mbak Imel… apa yang kita anggap “take it for granted” kadang kita sepelekan ya. Beberapa kali aku aku baru benar-benar menyadari anugerah itu hebat dari obrolan dengan orang-orang sederhana, bukan dari motivator atau pastor.
      Wah, hebat euy, nyuci bisa 3 kali dalam sehari. Aku paling banyak sih nyuci 2x aja. tempat utk menjemurnya terbatas sih…

      Kapan-kapan pengen lihat deh sunset di Candi Boko. banyak sunset chaser di sana pasti…

  2. Arman says:

    cakep banget foto sunset nya na…

    • nanaharmanto says:

      Thanks, Arman… itu pakai kamera biasa, nggak pakai teknik atau spesifikasi khusus. I was just there at the right time… 😀

Leave a comment