Tongkonan, adalah rumah adat penduduk Toraja, Sulawesi Selatan. Bagiku pribadi melihat tongkonan yang megah menjulang di tengan hamparan alam yang indah di Toraja, selalu menimbulkan perasaan kagum. Kagum pada aneka budaya masyarakat Indonesia, juga kagum pada rancangan dan (para) pembuatnya.
Liburan Lebaran yang baru lalu, kami mengunjungi sebuah tongkonan yang sangat unik, karena tongkonan ini mempunyai ciri khas yang tak dimiliki tongkonan lain di Toraja.Ya, tongkonan ini terkenal karena atapnya yang terbuat dari batu.
Oke, kita lihat dulu gambarnya.
Tongkonan batu ini, -terkenal dengan papa’ batu oleh masyarakat setempat-, berada di desa Banga’ , kecamatan Rembon, Kabupaten Tana Toraja.
Papa’ batu ini adalah satu-satunya tongkonan yang memiliki atap dari batu. Rumah adat yang dipercaya telah berumur 700 tahun ini, diwariskan turun temurun kepada keturunan pemiliknya.
Badan dan rangka atap, ditopang oleh 55 buah tiang kayu pilihan.
Atapnya yang unik, terbuat dari batu pahatan berbetuk segiempat, dengan dua lubang kecil di sisi atas, yang berfungsi untuk mengikatkan papan batu tersebut pada rangka atap. Untuk mengikatnya, “hanya” diperlukan rotan yang kuat.
Orang-orang tua dahulu tidak mengenal alat ukur yang jelas seperti penggaris. Jadi mereka memahat batu itu selebar kira-kira tiga jengkal orang dewasa, dengan tebal sekitar 5cm. Konon, setiap atap batu itu berbobot 10 kilogram. Jumlah atap batu ini sekitar 1000 keping. Jadi kira-kira, beratnya 10 ton…
(jujur, saat mendengarnya aku ragu-ragu, apa benar ya rotan bisa kuat menopang beban batu-batu tersebut? 10 ton kan beraaaaattt banget 😀 )
Di bagian atas atap, tempat pertemuan atap dari kedua sisi, ditutup dengan bambu dan daun nipah, supaya air hujan tidak merembes masuk. Dinding tongkonan ini terbuat dari dinding berukir khas Toraja dan berlantaikan papan kayu.
Tongkonan batu ini disakralkan oleh masyarakat sekitarnya. Artinya, tidak boleh orang masuk tongkonan ini secara sembarangan. Selain keluarga dan kerabat, orang lain (tamu/pengunjung) harus mengetuk dinding di sisi pintu tongkonan ini sebanyak tiga kali sebelum memasukinya.
Ah, lumrahnya orang bertamu kan mengetuk pintu?
Ooo… inilah uniknya. Rupanya, pengunjung boleh memasuki tongkonan kuno ini dengan mengetukkan kepala pada bingkai pintu. Hanya dengan kepala, bukan dengan tangan. Tiga kali kepala harus diketukkan, tidak perlu terlalu keras, asal menimbulkan bunyi.
Mudah ya?
Hhmmm… tetap saja untuk memasuki tongkonan ini harus seijin pemilik atau keluarganya. Jadi si pemilik atau kerabatnya akan mendahului masuk ke tongkonan dan mengucapkan ijin pada “penghuni” rumah tua ini, setelah mendapatkan ijin, barulah para tamu dipersilakan naik ke dalam rumah dengan mengetukkan kepalanya.
Jika ada orang yang nekat masuk tanpa ijin, tanpa mengetukkan kepalanya, orang tersebut bisa tiba-tiba jatuh sakit, dan untuk sembuh harus datang kembali ke rumah itu untuk meminta maaf didampingi oleh kerabat pemilik rumah.. Obatnya adalah air yang dikucurkan di atas tengkorak kerbau di dalam rumah. Si sakit harus menadahkan tangannya, menampung air yang mengalir dari tengkorak itu dan meminumnya.
Aku sendiri awalnya ragu-ragu untuk meminta ijin memasuki tongkonan ini. Aku takut keingintahuanku yang terlalu besar dan kecerewetanku bertanya-tanya akan mencemari warisan budaya kuno ini.
Tapi salah satu cucu pemilik tongkonan ini menawarkan pada kami untuk masuk. Namanya bapak Korang. Dia sangat ramah melayani pertanyaan-pertanyaan kami. Pak Korang mendahului masuk tongkonan, minta ijin, lalu mempersilakan kami mengikutinya.
Dung…dung..dung… 3 kali kuketukkan dahiku yang nong-nong ini pada ambang pintu.
“Naah… sudah berbunyi..!” Sambut pak Korang tertawa.
Sambil berbisik permisi, aku melangkah masuk. Karena tak terbiasa, cukup susah bagiku untuk masuk dari pintu sekecil itu sambil menaiki anak tangga.
Sesampai di dalam tongkonan, aku diijinkan untuk memotret apa saja di dalam rumah.
Rumah tua ini terdiri atas 4 ruang, dan hanya ruang utama saja yang boleh kami masuki.
Penghuni tongkonan ini, seorang janda bernama Ne’ Toyang berusia 110 tahun. Saat kami mengunjungi tongkonan ini, dia sedang sakit sehingga tidak keluar dari kamarnya. Pak Korang tidak mengijinkan kami menemui Ne’ Toyang supaya tidak mengganggu istirahatnya. Hanya sesekali kudengar suara batuknya dan suara alat penumbuk sirih. Ne’ Toyang hanya sanggup berbaring atau bersandar sambil masih terus menumbuk sirih.
Semua sesaji ini hanya bisa diganti dengan yang baru saat pesta rambu solo’ diadakan.
****
Apa lagi ya keunikan tongkonan ini?
Nah, ada sebuah tiang, yang terbesar diantara tiang-tiang penopang lainnya. Tiang ini berada di tengah, diikat dengan sebuah tali yang juga terlihat tua.
Tiang ini tidak boleh disentuh, bahkan keluarga pun tidak boleh sembarangan memyentuhnya karena tiang ini keramat bagi pemilik dan kerabatnya. Tiang ini memiliki fungsi utama untuk penopang tongkonan dan untuk mengikatkan kerbau hitam (tanda dukacita) di bawah rumah saat ada penghuni tongkonan yang meninggal.
Kerbau itu dimasukkan dari sisi selatan, diikat pada tiang ini hingga saat pesta rambu solo’ diadakan (pesta mengantarkan jenasah ke peristirahatanya yang terakhir). Kerbau itu bisa bertahun-tahun diikat di bawah tongkonan, hingga pesta diadakan.
Para pengunjung tidak diperkenankan memasuki area di bawah tongkonan ini, karena bagian ini pun disakralkan. Untuk memotretnya pun harus dari luar, tangan pun sepertinya tidak boleh masuk…
Pak Korang berkisah, pernah ada kerabat pemilik rumah yang ditawari beberapa puluh ribu rupiah untuk berpose memeluk tiang ini, demi sebuah shooting film dokumenter. Hasilnya orang tersebut mengalami sakit aneh yang tiba-tiba. Dadanya terasa dingin seperti es tembus hingga ke punggung. Sakit berat yang aneh itu, -konon menurut dokter,- adalah sakit malaria tropika. Tetapi obat dari dokter tak menyembuhkannya. Akhirnya, diadakan sebuah ritual adat untuk menyembuhkan penyakitnya. Ajaib, sembuh penyakitnya.
Tertarik untuk melihat tongkonan unik ini?
****
Note: beberapa informasi kusarikan dari sini, dengan penambahan berdasarkan hasil mengobrol dengan Pak Korang.
wow.. asli menarik banget! bener2 bangunan tua ya…
ternyata rotan kuat ya buat ngikat batu gede2 gitu… 😀
bangunan2 tua apalagi di daerah yang adat nya masih kental gitu emang suka banyak mistis nya ya. percaya gak percaya tapi mendingan percaya aja dah. lagian itu namanya menghormati adat setempat ya. lagian daripada kenapa2.. mendingan diikuti aja dah… 😀
Iya bener, Man… aku juga heran, kok kuat ya rotannya? mungkin mengikatnya pakai ritual khusus kali ya? wah, jadi nyesel kok nggak nanyain hal ini ya? 😀
Di mana pun memang kita harus menghormati adat setempat, nggak boleh bertindak dan berucap kurangajar.. seperti halnya tamu kan harus menghormati si pemilik rumah… 🙂
Nana…
Suka banget sama tulisanmu ini…
Saya pernah ke Toraja, namun waktu yang singkat tak sempat mengeksplorasi budaya masyarakat yang indah ini.
Terima kasih Bu Enny…. saya senang bisa berbagi….
Ya, kalau mau melihat lebih banyak tempat dan keunikan di Toraja, memang sebaiknya meluangkan waktu 2-3 hari di sana, karena memang banyak tempat/situs purba yang menarik..
Kapan ya bisa ke Toraja? Pengen banget nonton ritual pemakaman mereka
Kalau mau melihat acara rambu solo’ datanglah ke Toraja pada bulan November atau Desember. Banyak acara dilakukan di waktu ini karena keluarga yang merantau jauh2 pun pulang demi acara tersebut..
Biasanya yang bisa diliat oleh para tamu adalah acara rambu solo’ nya, sedangkan pemakamannya sendiri biasanya hanya kerabat dekat yang mengantar, Cla…
Halooo, salam kenal 🙂 Nama saya Elmo. Saya asalnya dari Toraja dan skrg sudah balik Toraja lagi. wah terima kasih sekali mau berkunjung ke Toraja. Tongkonan ini memang hanya satu-satunya di Toraja yang beratapkan batu. Untuk upacara kematian atau rambu solo’ paling banyak di bulan Juni, Juli, Agustus.
Keren sekali ini Na…
Beberapa hari yang lalu, aku ke Ponorogo, di sana ada Majid tua, genteng masjid itu terbuat dari kayu jati. Ketika itu aku sempat bertanya, apa tidak gampang bocor dan apa tidak terlalu berat tuh bebannya? Jawab orang-orang yang di sana, kayu-kayu genteng tersebut diberi lapisan khusus, sehingga tidak gambang bocor, dan tidak jadi berat karena tiang-tiang penyangga bangunan juga sangat kuat. Sehingga, imbang antara berat atap dan kekuatan tiang..
Kupikir, itulah bangunan dengan atap terberat.. Ternyata Tana Toraja malah memiliki atap yang jauh lebih berat yang terbuat dari batu… Wuih… benar-benar maju sudah peradaban nenek moyang kita dulu itu ya.. 🙂
Seperti yang dikatakan Arman, karena ini berkaitan dengan adat istiadat setempat, maka percaya tidak percaya, kita harus tetap menghormatinya.
Kapan ya bisa ke situ? 🙂
Kalau ada waktu, sempatkan jalan-jalan ke sini Uda, menikmati aneka budaya dan adat istiadat Nusantara… jujur aja, aku selalu kepengen ke Toraja karena keunikannya..
Masjid tua di Ponorogo itu bisa dikunjungi masyarakat non Muslim, Uda? kapan-kapan pengen juga wisata ke Jatim..
konon, memang kayu jati itu kuat dan tahan lama, dan yang jelas sih mahal hehehe…
kalau sudah menyangkut adat istiadat tradisi setempat, memang kudu diikutin aja ya Mbak Nana
khan kita harus menghormati mereka 🙂
dan, itu benar2 bangunannya tua banget ya ….
salam
Iya Bunda, di mana pun kita harus menghormati adat dan kebiasaan setempat, apalagi kalau sudah menyangkut kepercayaan, hmm… memang sebaiknya nggak sembarangan ya…
Tongkonan ini memang udah sangat tua, Bunda, ukuirannya mulai pudar dan atapnya udah berlumut. Bahkan tanduk kerbaunya juga udah nggak jelas lagi bentuk aslinya…
Tempat nya “adem” banget ya. Saya sudah lama merencanakan untuk wisata ke tempat etnik seperti ini, tapi sampai sekarang belum kesampaian. 😦
Salam kenal ya Pak…
Kalau ada waktu sempatkan jalan-jalan melihat keunikan Nusantara, Pak… tidak ada ruginya menurut saya… pengalaman yang didapat benar-benar menakjubkan… 🙂
Benar, Bunda…. saya sejak kecil diajarin orangtua untuk selalu menghormati orang lain.
Setelah besar saya semakin paham, bahwa menghormati ternyata tak hanya pada sesama manusia saja, tetapi juga pada mereka yang sudah meninggal, berikut tempat-tempat yang disakralkan dan dijaga kelestariannya oleh penduduk setempat…
Salam hangat selalu, Bunda… 🙂
Nana …
Ini reportase budaya khas Nana …
Jika kamu mau saya rasa akan banyak media yang mau menerima naskah reportasemu …
Saya bagaikan menyimak National Geography …
This is very informative Na …
Salam saya
Waaaa… tersanjung sangaaattt…. terima kasih ya Om…
Semoga saya punya keberanian untuk menulis di forum yang lebih besar… 🙂
Salam hangat, Om…
..
wah ulasannya oke banget Mbak, aku jadi bisa nambah pengetahuan.. 😉
bangunan tradisional yg bersejarah di negeri ini memang sangat banyak, semoga bisa terjaga dengan baik…
..
soal hal mistik di daerah memang masih kuat ya Mbak..
tapi lebih baik memang menghormatinya, gak boleh sembrono..^^
..
Thanks ya Ata… senang bisa berbagi…
aku kepengen banget bisa ke Bali… di sana kan nuansa etnik dan mistisnya kuat bgt ya? pengen melihat keunikan Bali nih… kayaknya aku bakal terkagum-kagum juga deh di sana… hehehe…
Pingback: Menuju Papa’ Batu « the broneo
ulasan yg menarik. Indonesia banget! 🙂 semoga kapan2 bisa keliling Indonesia, lalu bisa lihat Tongkonan ini.
takjub juga dengan atapnya yg dari batu. kalau hujan, bunyinya kaya apa ya?
wah, Nik,…sayang pas aku ke sana pas nggak turun hujan hehehehe.. 😀
kalaupun kita gak percaya sama yg bgituan tetep bisa kena?!??!
Saya kira masalah percaya atau tidak percaya kembali lagi pada masing-masing orang… terlepas dari hal percaya atau tidak, yang terpenting adalah kita turut juga menghormati kepercayaan dan keyakinan setempat.
salam…
kebetulan saya dulu kuliah di Antropologi, jd sedikit banyak tau ttg budaya Indonesia. Toraja salah satu yang menarik, tapi blom pernah lihat kenyataannya.. 😦
Wah, kuliah di anthropologi pasti asyik tuh…
Kalau ada waktu, berkunjunglah ke Toraja ini… banyak hal indah yang bisa dilihat dan dipelajari di sini… 🙂
hdeheheeheee… Tongkonan itu dekat banget loh dri rmhQ d rembon, cma 5 menit klau naik mtor dri rmhQ dah smpai d papa batu itu… jdi yng mau ksna bisa hubungi aku aj.. slm knl..
Waa…salam kenal ya Via…
saya sempat nyasar-nyasar lho untuk ke papa’ batu ini… berkali-kali harus tanya pendudukm baru deh ketemu..
wah, sayang ya kita belum kenalan waktu saya ke Toraja kemarin, kan bisa jadi pemandu wisata tuh.. hehehehe… 😀
Pingback: THE POST OF SEPTEMBER « The Ordinary Trainer writes …
salam kenal mbak..meninggalkan jejak pertama kali setelah tahu blog mbak nana dari Pak NH, nice story …wah berasa mereview apa yang saya lihat di film film dokumenter jaman dahulu di TVRI, soalnya soal suku toraja ini dah lama saya tak lihat tayangannya di TV swasta…
kebudayaan toraja yang tinggi nilainya…
thank for sharing mbak
Salam kenal juga ya Mamanya Kinan…
Toraja ini beberapa kali masuk TV swasta juga… dulu pertama kali lihat di TV saya penasaran banget dan kepengen ke Toraja, dan Puji Tuhan, kesampaian juga impian mengunjungi Toraja.
Saya pribadi merasa, selalu kepengen kembali ke sana menikmati alamnya yang indah dan lestari.. nggak cukup satu posting saja untuk menceritakan tentang Toraja yang permai…
Terima kasih ya sudah mampir ke sini…
salam hangat selalu…
Mampir kemari dari Blog Om Trainer 😀
Seru banget perjalanannya, Mbak. Adat Toraja terkenal sangat unik ya…
Dan mahal banget 😦
salam kenal ya, Mbak… 🙂
Salam kenal juga ya Kakaakin…
Iya betul, adat Toraja memang sangat unik dan mahal hehehe…. tapi mereka benar-benar setia menjaga warisan adat leluhur… salut banget deh utk orang-orang Toraja…
Terima kasih sudah berkunjung ke sini ya…
hebat ya gg pake penggaris gg pake meteran gg pake semen juga #eh semen juga gg pake kan
tapi awet berdiri sampai sekarang :O bangunan yang dibangun sekarang bikin mahal-mahal gg sampe setahun udah retak dua tahun runtuh deh, kebanyakan dikorupsi #curcol
berat atapnya ampe 10 ton begitu, yang ngangkat2in batunya berotot semua itu 😀
Salam kenal ya Tiara…
ngebayangin ngangkat satu papan batu aja, aku gak sanggup, apalagi kalau sampai beratus-ratus gitu.. tapi pastinya dikerjakan dengan gotong royong sampai tongkonan ini bisa berdiri sampai sekarang.. tapi orang Toraja memang kuat-kuat lho badannya… tipe pekerja keras…
Bagaimana sih bu cara agar bisa menuliskan perjalanan seruntut ini, dibacanya enak sekali 🙂
sangat mengalir
Halo Pak… salam kenal ya…
terima kasih sudah berkenan membaca ya….
saya menuliskan apa yang ada di benak saya, fokus pada detil satu hal, dilanjutkan lagi dengan detil lainnya… kira-kira begitu deh Pak… 🙂
Wow…beruntung sekali mba Nana bisa melihat dari dekat tongkonan tersebut, pasti seru ya mba di sana ^-^
Salam kenal mba NH -yg Nana Harmanto- terima kasih sudah berkunjung ke gubuk saya 😀
Halo Mbak Orin…
iya ya, saya termasuk neruntung bisa menikmati secara langsung keindahan dan keunikan Tana Toraja.. senangnya bisa berbagi cerita… 🙂
salam kenal mbak
menarik banget mbak, unsur magisnya membuat pu merinding padahal belum kesana ya. pu melihat rumah gonjong udah tua di batusangkar aja merinding apalagi ini.
Salam kenal juga ya Mbak Putri…
iya betul, memang ada kesan misterius dan mistis gitu, apalagi kalau sudah masuk ke dalamnya… tapi bagus juga sihm sebagai pengingat bagi kita pendatang untuk nggak sembarangan bertingkah atau bicara di situ (dan di manapun… ) 🙂
Terina kasih sudah berkunjung ke sini ya…
aku penasaran sama Nenek Ne Toyang deh. dia tinggal sendiri di sana? Berapa orang yang tinggal di rumah itu?
wah membantu sekaliiii makasiiiiihh,
Daerah ini tempat kelahiran nenek saya. Yg nantinya sksn dikubur di tempat ini. Dan acara rambu solonya bulan6. Kalau ada kesempatan jalan jalan yah
keren..