Sebuah Sudut Meja

Sebuah sudut meja tercenung.

Entah mengapa tiba-tiba ia merasa sangat penat dan lelah.

.

.

Ketiga sudut yang lain telah datang kepadanya dengan berbagai beban cerita mereka.

Ia mendengarkan dan mendengarkan.

Lalu menyimpan semua, jauh di sudut terdalam.

..

..

Ketiga kaki meja yang menopang masing-masing sudut, telah pula datang kepadanya.

Berkeluh. Berkesah. Meratap.

Ia mendengarkan.

Lalu menyimpan semua, jauh di sudut tak tergapai.

.

.

Sang sudut meja menatap kursi tua di depannya.

Kursi tua yang telah bercerita tentang sandarannya yang mulai rapuh,

tentang kakinya yang mulai goyang, dan tentang paku-pakunya yang mulai berkarat.

Dan ia mendengarkan.

Lalu menyimpan semuanya, di dalam pori-pori kayu yang membuatnya bisa bernapas.

.

.

Ia gundah.

Ia ingin bercerita, ingin berbagi duka.

Ia tak tahu kepada siapa ia akan mengadu.

Sudut-sudut yang lain telah pepat dengan masalah mereka sendiri.

Ia ingin mengaduh. Namun kaki-kaki meja yang lain telah pula sarat menopang.

.

.

Sang sudut meja menatap kursi tua itu. Bertanyalah ia.

“Ibu Kursi, setua ini, apakah Ibu Kursi tidak merasa lelah?”

“Oh, Nak… seumur hidupku aku ditakdirkan untuk mengabdi. Untuk menopang. Aku pun merasa lelah, lihatlah, sandaranku mulai retak, kakiku tak sekokoh dulu, dan paku pengikatku tak sekuat dulu..”


“Ibu Kursi, aku ingin mengadu..”.

“Ya, Nak… mengadulah, aku mendengarkan..”.

Berkeriut sang kursi tua mendekat.

“Berceritalah, Nak… mari…”

.

.

Sang sudut meja merasa iba. Urung ia bercerita.

“Ibu Kursi, mengapa kau mau mendengarkanku?”

“Oh, Nak… aku telah terbiasa mendengarkan.

Sejak anak-anakku lahir, aku mengenal setiap rengekan mereka,

aku ikut membereskan kenakalan mereka.

Aku bersedia memahami setiap masalah mereka”.

.

.

“Ibu Kursi sanggup menanggung setiap hal?”

“Nak, menjadi ibu, berarti aku akan terus memikirkan anak-anakku, sampai waktu berhenti untukku.

Kadang aku ingin lari, Nak.. tapi aku tak bisa meninggalkan anak-anakku sendirian.

Jadi aku akan tetap tegar, untuk mereka”.

“Aku takut menambah bebanmu, Ibu Kursi..”.

“Ah, Nak… satu perkara lagi tak akan membinasakanku”.

“Bagaimana Ibu Kursi bisa sekuat ini?”

“Anakku sayang, aku telah belajar…

perkara apapun  yang tidak membinasakanmu dalam kehancuran, jadikanlah itu untuk membuatmu lebih kuat dan tegar…”.

Sang sudut meja terdiam.

“Hey, Nak… dari tadi kau terus bertanya. Nah, ayo berceritalah..”.

“Maaf, Ibu Kursi, aku tidak bisa…”.

.

.

Dan sang sudut meja menyimpan semua perkara itu jauuuh di sudut tak terjangkau.

Dibawanya pepat beban itu dalam tidurnya.

Si Kaki Meja penyangganya, memeluknya dan berbisik.

“Berkisahlah. Aku mendengarkan… mari kutopang segala bebanmu..”.

****

About nanaharmanto

menulis dengan hati....
This entry was posted in Uncategorized and tagged , , , , , . Bookmark the permalink.

20 Responses to Sebuah Sudut Meja

  1. Ikkyu_san says:

    Bersyukurlah bahwa si sudut meja mempunyai kaki meja penyangga yang kuat. Dan kuharap bisa begitu selamanya.

    Nice post Na…

    EM

  2. zee says:

    Aku penasaran, apa yang disimpan oleh si sudut meja? Ah aku suka dengan caramu berkisah mbak nana.

    • nanaharmanto says:

      Si sudut meja menyimpan kisah ketiga sudut lainnya, dan cerita dari ketiga kaki meja yang menopang mereka.

      Dia juga menyimpan cerita dari si kursi tua, sekaligus menyimpan ceritanya sendiri dan cerita si kaki meja penopangnya.

      Dia bingung, kepada siapa dia akan bercerita? 🙂

      hehehe… thanks ya Zee…

  3. Jumialely says:

    Segala Perkara ku simpan di dalam hatiku, dan kunyatakan hanya kepada Tuhan ku

    dan Segala Perkaraku adalah milik Tuhan ….

    illustrasi yang indah sekali

    • nanaharmanto says:

      waaa….Ibu juri berkunjung ke sini..
      eh, udah bukan juri lagi ya? hehehe…
      Teima kasih ya Mbak Jumialely atas penjuriannya di blog Pakde… 🙂

      nice to know you…
      salam… 🙂

  4. septarius says:

    ..
    analoginya bagus Mbak..
    pesan-pesannya dalem euy..

    kali ini rasa tulisannya kok beda ya, pake’ bumbu apa nih..?
    hihihi.. 🙂
    ..

  5. nh18 says:

    HHmmm …
    Tekhnik penulisan Nana yang lain lagi …

    Sebuah tulisan kaya perlambang
    Sebuah tulisan kaya perenungan

    salam saya Nana

  6. edratna says:

    Tulisanmu indah Nana….
    Penuh dengan rasa, kedalaman…..

    Hmm….bisakah kita menjadi seperti sudut meja, terutama buat suami dan anak-anak kita?

    • nanaharmanto says:

      Terima kasih atas apresiasinya, Bu Enny…
      saya ikut belajar seperti si sudut meja… mencoba menjadi pendengar yang baik, walau kadang susah sekali…
      mana yang lebih susah ya, menjadi pendengar yang baik atau menjadi penjaga rahasia yang baik?

      saya rasa, Bu Enny adalah “sudut meja” yang baik, yang setia mendengarkan suami dan anak-anak Ibu… hmm… keluarga yang indah, saya salut betul, Bu…

      saam hangat selalu, Bu Enny…

  7. anna says:

    personifikasi yg unik mbak..

    jadi penasaran kenapa mbak Nana menggunakan sudut meja, kursi sebagai ‘lambang’…

    boleh tau nggak mbak?

    • nanaharmanto says:

      Hehehe….. kebetulan saja nemu sudut meja dan kursi sebagai lambang yg paling pas… kalau pakai kembang dan tangkai rasanya terlalu feminin deh.. *hedeeew…

      Lebih sreg aja pakai lambang sudut meja dan kursi, rasanya lebih menunjukkan ada kesan kuat dan “macho” juga hehehe… 🙂

  8. anis says:

    “perkara apapun yang tidak membinasakanmu dalam kehancuran, jadikanlah itu untuk membuatmu lebih kuat dan tegar”
    anis suka yang ini mbak na…

    Ibu kursi sungguh kuat, namun sekuat-kuatnya makhluk…akan lebih kuat lagi ketika ia juga bersandar kepada pencipta-Nya;
    menjadikan kita bersyukur bahwa kita mempercayai Tuhan ya mb 🙂

  9. Clara Croft says:

    wah kereeennn.. ceritanya dalem banget 🙂 ikutan lomba lagi ato gimana Mba Na? Ceritanya unik

  10. riris e says:

    seneng membaca yg ini .. katakan pada sudut meja itu “Kau tak sendiri!” 😀

  11. landax njegrak says:

    Mbak,,ketoke aq ngerti siapa dan apa yg dimaksud ,,hehehe,,,coba ntar kita cross-check yaa,,hehehehe,,,

  12. wow…sarat makna

    jadi nyadar, bahwa kita enggak bisa sendirian. butuh orang lain. mungkin sudut meja ngerasa bahwa dia sudah terlalu banyak “dibebani” dan menyimpan cerita…seolah-olah harus menanggung beban sendirian. padahal…sadar ga sadar, walaupun kaki meja berkeluh kesah, tahu kah kamu bahwa dia juga tetap berjuang untuk menopang meja itu,
    hingga meja nya tetap bertahan, utuh-dan sudut meja masih bermanfaat.
    tahukah kamu, hai sudut meja…walaupun kursi tua, merasa bahwa sandarannya mulai rapuh, dia tetap menjadikan dirinya sebagai kursi.
    hingga meja nya tetap bertahan, utuh-dan sudut meja masih bermanfaat.
    karna apa gunanya sudut meja, tanpa kaki2 meja dan tanpa kursi???

    aku pikir, tak salah jika kita saling berbagi. sudut meja-kaki meja-dan-kursi. saling menopang-hingga menjadi satu bagian yg utuh.

    ketika orang2 sekitar kita menceritakan keluh kesahnya ke kita. padahal kita juga punya beban, dan kita memilih untuk diam, menyimpan semuanya sendiri..-DAN KITA MENGANGGAP BAHWA ITU ADALAH LANGKAH YANG PALING BIJAK-(berpikir bahwa kita enggak pengen nambah beban orang lain)….aku ingatkan kamu kawan, kita ini hanya manusia!! sekuat-kuatnya tanggul..kalo isinya terlalu penuh, suatu saat pasti tanggulnya bocor. otak dan hati manusia punya kapasitas tertentu-bukan ruang yg tanpa batas.

  13. berpikir bahwa kita enggak pengen nambah beban orang lain)….aku ingatkan kamu kawan, kita ini hanya manusia!! sekuat-kuatnya tanggul..kalo isinya terlalu penuh, suatu saat pasti tanggulnya bocor

Leave a reply to nanaharmanto Cancel reply