Pacul

Dulu, waktu aku kecil, simbah buyutku mengajariku sebuah tembang dolanan gundhul-gundhul pacul…

Gundhul gundhul pacul cul… gembelengan…

Nyunggi nyunggi wakul kul… gembelengan…

Wakul ngglimpang segane dadi sak latar…

Wakul ngglimpang segane dadi sak latar…

Tembang  ini ceria, lincah, riang.. dulunya kupahami hanyalah tentang seorang anak berkepala gundul yang gembelengan (bergaya, tak bisa diam, pencilakan) yang sedang membawa bakul di atas kepalanya. Karena polahnya, bakul terguling dan nasi berserakan di pelataran dan tak bisa lagi dimakan..

Belakangan, muncul berbagai ulasan tentang makna dari tembang ini, seperti bisa dibaca di sini.

 ****

Lama berselang, saat aku tinggal di Jakarta, dari dalam bis yang kutumpangi, aku melihat beberapa cangkul berderet-deret di trotoar, di atas setiap tangkainya, digantungkan topi atau penutup kepala lainnya. Aku heran, untuk apa cangkul-cangkul itu antri di situ?

Tiba-tiba, segerombolan lelaki berlarian serempak, menyambar pacul-pacul itu lalu meloncat ke atas sebuah mobil pick up yang lewat. Tak tertukar, karena ditandai topi pemiliknya. Begitu saja aku langsung maklum, mereka tentunya kuli yang mengandalkan cangkul untuk bekerja sehari-hari.  Bayangkan jika cangkul itu rusak atau hilang… duhh…

Nah, aku tergelitik untuk menuliskan tentang pacul ini, -awalnya, gegara sebuah judul film yang sangat menggelikan buatku: Kak*k Cangkul.

Film produksi anak bangsa bergenre horor ini, -maaf beribu maaf- tidak menarik minatku untuk menontonnya.

Sepertinya, ini tentang arwah seorang kakek yang gentayangan sambil membawa cangkul ke mana-mana. Cangkul itulah bagian utama dari horor-nya. Aihh..aya-aya wae…

****

Yah, sangat bertolak belakang dengan filosofi Jawa yang pernah kudengar.

(Terima kasih untuk sahabatku Om Widi yang telah menjabarkannya untukku dan jadilah ide tulisan ini).

Pacul, atau cangkul dalam Bahasa Indonesia, dalam masyarakat petani Jawa mempunyai makna filosofi yang sangat mendalam. Sederhana, sesederhana alatnya, namun sangat sarat makna…

Pacul, -dalam keratabasa Jawa, dijabarkan sebagai sipat papat sing ora keno ucul (empat sifat yang tidak boleh lepas satu dengan lainnya).

Pacul terdiri dari 4 bagian.

1. Doran= aja maido Sang Pangeran

Jangan membantah/mendebat Pangeran (Tuhan-red)

Doran ini berfungsi sebagai tangkai pacul.

2. Tandhing= sejatinya hidup itu adalah bertanding setiap saat.

      Tandhing ini adalah ganjal yang “mengikat” bagian tangkai dan mata pacul agar kuat dan tidak mudah lepas.

3. Bawak= Obahing awak. Tubuh yang bergerak. Artinya, orang  harus bekerja untuk mencari nafkah agar bisa makan dan melanjutkan hidup.

     Bawak adalah bagian belakang mata cangkul (yang lebih tebal) yang berdekatan dengan tangkai.

4. Landhep= tajam. Pikiran harus selalu tajam, harus  terus diasah agar berdaya guna dan tetap cermat/bijaksana supaya bagian yang tajam (baca; kecerdasan, tutur dan tingkah laku) tak melukai diri sendiri dan orang lain.

    Landhep ini adalah bagian mata pacul bagian depan yang sangat tajam, berfungsi untuk menggali tanah, membersihkan   rumput, menggemburkan tanah dsb. Pengguna cangkul harus berhati-hati terutama pada bagian ini karena ketajamannya.

Keempat bagian ini harus disatukan, tak terpisahkan, sebab tanpa salah satu komponen tersebut, pacul/cangkul tak berfungsi.

Bagi wong tani mbiyenpacul bermakna demikian.

Pacul iku gamane wong tani. Cangkul itu senjatanya petani. Orang hidup haruslah bekerja. Tidak hanya sekedar bekerja untuk makan saja, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan rohaninya..

Pacul iku dipanggul nang pundhak ora mung dicangking. Cangkul itu dibawa dengan cara dipanggul di pundak, bukan dijinjing. Setiap orang memanggul tanggungjawabnya sendiri. Orang harus bertanggungjawab penuh atas keselarasan keempat hal tersebut dalam hidupnya sehari-hari, dan bukannya mengentengkan/meremehkan seperti halnya menjinjing barang yang ringan.

 

pacul a.k.a cangkul

 

Catatan: gambar kupinjam dari web ini. 

Well… Maknanya sangat mendalam, bukan? Nggak sekedar alat menakut-nakuti seperti film itu…  😀

****

About nanaharmanto

menulis dengan hati....
This entry was posted in Uncategorized and tagged , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink.

15 Responses to Pacul

  1. Arman says:

    baru tau gua na, kalo pacul ada maknanya seperti itu…

    btw film horor indo emang udah tambah lama tambah aneh aja judul2nya ya… 😛

    • nanaharmanto says:

      Aku juga baru tau setelah chatting dengan seorang sahabat, Man… jadi tergelitik aja karena geli sekaligus miris ngeliat “betapa jauhnya” makna pacul bagi keseharian petani dengan pelaku industri film horor Indonesia.
      menyedihkan..

      nonton film horor kayak gitu, enggak aja deh… mending buat nonton yang lain… 😀

  2. marsudiyanto says:

    ‘ODRAN”, sebuah istilah yang sudah puluhan tahun tidak saya dengar…
    Anak sekarang kayaknya nggak kenal lagi istilah itu.
    Meski tidak dipelitur, tapi doran biasanya mengkilap karena tergesek oleh tangan perkasa yang menggunakannya.

    Cangkul ibarat pena bagi penulis, ibarat kuas bagi pelukis.

    • nanaharmanto says:

      Saya juga jarang mendengar istilah doran… mengerti maknanya pun baru-baru ini hehehe…

      betul, Pak… tangkai/doran pacul memang selalu mengkilat… bahkan “licin” bagi yang tak terbiasa memegangnya… 🙂

  3. vizon says:

    Wah.. aku baru tahu tentang arti pacul itu, Na..
    Thanks atas informasinya ya..

    Budaya Jawa memang budaya yang penuh simbol. Dan aku sangat tertarik dengan hal itu…

    Oya, aku perhatikan, ada sedikit perbedaan antara cangkul di Jawa dan di Sumatra (setidaknya di kampungku). Kalau di Jawa, tangkainya pendek, sementara di Sumatra, tangkainya panjang. Hal yang sama juga terjadi pada sapu. Kalau di Jawa, tangkainya pendek sehingga menyapu cukup dengan satu tangan, sementara di Sumatera tangkainya panjang dan harus menggunakan dua tangan. Aku sampai sekarang gak ngerti mengapa terjadi perbedaan begitu. Apa jangan-jangan ada filosofi yang terkandung dalam ukuran tangkainya tersebut..?

    • nanaharmanto says:

      Senang bisa berbagi, Uda…
      waktu saya tinggal di Sulawesi, sempat heran juga, karena tangkai pacul yang panjang dan malah agak susah untuk menggunakannya…
      lain daerah lain pula alatnya ya Uda… 🙂

  4. Nh Her says:

    Hmmm …
    Dalam juga ya filosofi dibalik Cangkul ini …
    saya baru ngeh …

    salam saya Na …

    (mengenai Kakek Cangkul ??? … no comment … saya denger dia ada hubungannya dengan Nenek Gayung …)

    • nanaharmanto says:

      Saya dan suami juga terpingkal-pingkal di bioskop waktu liat posternya dan baca hubungan mereka itu ..hahahaha….aya-aya wae….

  5. krismariana says:

    aku sebagai orang jawa malah nggak tahu filosofi pacul ini. aku pernah live-in bareng seorang teman mahasiswa di daerah jawa tengah. nah, temanku ini tugasnya ikut si bapak pemilik rumah tempat kami tinggal. bapak ini pekerjaan sehari2nya sebagai petani. jadilah temanku ikut bertani. dan dia harus macul. malam waktu kami berkumpul dia cerita bahwa macul itu berat sekali. dia baru dapat beberapa kali paculan saja sudah remuk badannya. eh, bapak itu enteng sekali macul sekian petak. salut deh sama bapak-bapak petani yang masih kuat macul. orang kota seperti itu sangat berutang budi kepada mereka.

    • nanaharmanto says:

      Bener Nik,… para petani itu kuat-kuat, rosa tenan…. aku pernah ngangkat pacul dan njajal macul, kaku, aneh, canggung, dan malah digeguyu pak tani dulu waktu KKN… trus malah diambil alih sama anaknya pak Kadus… “Kene Mbak, aku wae….”. jles…jles…jles… rampung le macul… aku? isiiinnnn…. hehehe…

  6. edratna says:

    Nana, sangat menarik membaca tulisan dan arti pacul. Bagi orang Jawa, segala sesuatu ada artinya….dan sebetulnya itu ajaran yang bagus untuk diteruskan pada anak-anak kita.

    • nanaharmanto says:

      Iya betul, Bu Enny… ajaran, pepatah dan filosofi Jawa memang sarat makna… jadi pelajaran yang bagus dan sebenarnya sederhana, tidak muluk-muluk… sayangnya, ajaran-ajaran seperti itu “tenggelam” oleh gemerlap tontonan TV dan hiburan kosong yang ditawarkan program TV…
      Saya kadang kepengen duduk bareng, ngeteh dan ngobrol2 dengan para petani dan orang “tempo doeloe” dan belajar sesuatu dari mereka… 🙂

  7. Kontraktor says:

    arti yang sangat dalam…
    makasih ilmunya..

  8. Pingback: Blog dalam Presentasi | RyNaRi

  9. abi khan says:

    Entah Mengapa Pacul selalu mengingatkan aku akan masa indah waktu kecilku,,
    Terima Kasih,,

Leave a reply to nanaharmanto Cancel reply