Gunung Guntur

Saat aku melongokkan kepala dari beranda hotel tempatku menginap di Garut, Jawa Barat, disanalah ia…

Gunung yang terlihat tua, misterius, suram dan…gundul!

Yah… begitu doang ya… tidak terlihat indah…. Bahkan terlihat seperti kakek tua yang telah kehilangan kebugaran dan kemudaannya.

Cuaca sangat mendung ketika pertama kali aku melihatnya, semakin menambah suramnya gunung ini.

 

Gunung Guntur, difoto saat mendung..

 

Aku jadi agak menyepelekannya, kukira ia serupa bukit tak bertenaga yang sekedar muncul dari bumi beribu tahun silam.

Iseng aku bertanya pada petugas hotel yang tengah membersihkan kamar kami.

“Oh, Gunung Guntur itu, Bu…”.

Ah, entah di mana aku pernah sepintas mendengar nama itu.

Setengah hati, aku mulai googling.

Dari yang semula tak berniat mencari info tentangnya, lalu mataku melebar, membola, lalu getol menelusuri link-link tentangnya yang berkaitan.

Waaaahh….!

Beberapa menit berlalu dalam kebisuanku menelusuri informasi tentang Gunung Guntur ini.

Dan di sinilah aku, terlongong di bawah kakinya, menjejali otakku dengan info demi info dalam berbagai ragam kalimat dan gaya bahasa …

Tak pernah kuduga, ternyata…

Gunung Guntur pernah membikin resah warga karena aktivitas vulkaniknya meningkat. Pada tahun 2007 dan 2009, bahkan statusnya meningkat menjadi waspada.

Lalu, berbarengan dengan Galunggung pada bulan Februari 2012 lalu, gunung lain yang ditingkatkan statusnya dari aktif normal ke waspada level II adalah Papandayan, Guntur, Salak, Tangkuban Perahu, Gede, dan Ceremai.

Sumber dari sini.

Glek.

Terletak di kecamatan Tarogong, kabupaten Garut, Jawa Barat, Gunung Guntur ini dari dulu memang selalu tandus. Gersang. Hampir tak ada pohon tinggi rindang untuk berteduh.

Siapa sangka, gunung “gundul botak” ini ternyata memiliki dua sumber mata air.

Sumber mata air dingin yang mengalir ke Curug Citiis, dan sumber air panas yang mengalir ke Cipanas, -yang kemudian dimanfaatkan sebagai situs wisata pemandian Cipanas.

 

Ternyata, gunung ini memiliki jejak sejarah letusan yang tak bisa dianggap enteng.

Di era 1800an, gunung ini sangat aktif, bahkan termasuk salah satu gunung berapi paling berbahaya di pulau Jawa.

Tercatat, sejak tahun 1690 hingga tahun 1847 gunung Guntur berkali-kali meletus. Dalam kurun 47 tahun, (1800-1847), gunung ini melelus sebanyak 21 kali.

Sekarang gunung ini tengah tertidur lelap tak kurang dari 165 tahun lamanya.

Tapi sebenarnya gunung yang sangat aktif di masa lalu, juga harus tetap diwaspadai di masa ini. Tidur lama, artinya mengumpulkan energi. Dikuatirkan begitu terbangun kelak, tenaganya jadi luar biasa dahsyat.

Kok sepertinya masyarakat cuek ya?

Yah bisa dimengerti, tak ada saksi hidup atas letusan terakhirnya tahun 1847. Para kakek nenek tertua (sekarang) pun telah kehilangan cerita sejarah letusan gunung guntur ini.

Hilang tak berbekas sisa erupsinya yang pernah menyapu lerengnya lebih dari seratus tahun lalu.

Saking lamanya tertidur, masyarakat jadi lupa dan cenderung mengabaikan bahwa gunung ini masih aktif.

Sedikit dari tandanya adalah: masih terus terbentuknya magma di dalam perutnya, -yang memanaskan sumber air panas itu kan magma bersuhu tinggi kan?

Air dari dalam gunung berlimpah ruah mengalir melewati lempeng/kerak bumi, dan di bawah kerak itu magma masih terus terbentuk, menghasilkan panas yang tiada henti memanggang kerak tersebut, sehingga air yang melewatinya menjadi panas.

Konon di beberapa lokasi bahkan terdapat sumur-sumur gas magmatik yang berbau belerang.

Meskipun terlihat botak, Gunung Guntur memberi kelimpahan kesuburan di sekitarnya. Tanah yang subur makmur menumbuhkan budidaya pertanian dan hasil bumi lainnya.

Air hangat mengalir sepanjang tahun, menjadikan kawasan di lerengnya pun semarak dengan kegiatan ekonomi lainnya: menjamurnya penginapan dan hotel yang “menjual kemewahan” air hangat dari sumber alami, berikut jajaran warung-warung makan di sepanjang kawasan Cipanas ini.

Sungguh kemurahan hati Tuhan!

Dulunya, gunung Guntur berasal dari julukan masyarakat sekitar karena suaranya menggemuruh mengerikan seperti guntur ketika meletus. Kalau dilihat, gunung Guntur berketinggian 2.249 meter di atas permukaan laut ini masih memiliki sisa-sisa pola kipas bekas aliran lava yang telah mengeras selama satu setengah abad. Inilah salah satu faktor alami mengapa gunung ini menjadi gundul. Sayangnya, kegersangan alam di gunung ini semakin diperparah dengan aktifitas manusia yang menggerus dan menggali pasirnya secara besar-besaran di kaki gunung. Semoga penggalian dan pengrusakan wahana alam Gunung Guntur ini telah menjadi perhatian serius pemerintah daerah beserta pemerhati alam dan lingkungan hidup, entah bagaimana tindakan mereka.

Mengingat sejarah letusannya yang eksplosif dan eruptif disertai lelehan lava, lontaran lapili dan objek vulkanik lainnya, gunung ini menjadi ancaman yang sangat serius bila meletus. Ribuan orang berhimpun padat sangat dekat dengannya bertumpu pada pertanian dan wisata yang didukung Gunung Guntur ini.

Tercenung aku di tempat aku berada sekarang, tepat di lerengnya, jelas termasuk daerah rawan kurang dari 5 kilometer jaraknya dari Gunung Guntur ini.

Tak mampu aku membayangkan kesunyian Gunung Guntur ini ternyata menyimpan kedahsyatan luar biasa yang sanggup melumatkan seluruh kehidupan ekosistem di lerengnya.

Gunung Guntur, saat cuaca cerah. terlihat pola kipas sisa aliran lava satu setengah abad yang lalu

 

 

Yah, semoga Garut tak lengah yaa….

Catatan: foto-foto koleksi pribadi

About nanaharmanto

menulis dengan hati....
This entry was posted in Uncategorized and tagged , , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink.

14 Responses to Gunung Guntur

  1. nh18 says:

    gunung ini lebih tepat dinamai … Gunung Gundul …

    keliatan gersang begitu ya Na

    Salam saya Na

    • nanaharmanto says:

      Iya, Om… gundul dan gersang banget.. dan menurut penduduk, di atas sana sering terjadi badai yang berbahaya, karena tak ada pohon besar untuk berlindung…

      salam hangat juga, Om… 🙂

  2. monda says:

    kelihatannya gunung nggak tinggi ya…

    penampilan bisa mengecoh, menyimpan potensi bahaya juga

    • nanaharmanto says:

      Dengan ketinggian 2249 DPL sebenernya tinggi juga ya Kak… cuma karena saya motretnya tepat di kakinya, keliatannya tinggal sejangkau lagi deh sampai ke puncaknya hehehe…

      selayaknya “casing” ya Kak… bisa menipu… 🙂

  3. marsudiyanto says:

    Dari namanya sudah mencerminkan betapa digdayanya gunung itu, paling tidak pada masa jayanya…

    • nanaharmanto says:

      Betul juga ya Pak… julukan bagi gunung ini pastinya berasal dari masyarakat (dulu) yang mengalami langsung kedahsyatan gunung ini…

  4. Mungkin karena tidak ada dokumentasi efek letusan tahun 1847 jadi masyarakat dan PEMDA Garut kurang peduli terhadap bahaya yang sewaktu waktu bisa mengancam. Smoga terdapat deteksi yang update apabila ada peningkatan aktifitas kawah, sehingga masyarakat bisa segera direlokasi. Amin

    • nanaharmanto says:

      Betul juga ya Pak Suryadi… tidak adanya dokumentasi efek erupsi dan hilangnya cerita lisan dari leluhur menjadikan dahsyatnya Gunung Guntur ini terlupakan..

      Semoga data dan pantauan terkini dari BVMKG bisa membantu msyarakat dan Pemda Garut untuk lebih waspada dan menghindari bahaya seminimal mungkin…

      Terima kasih sudah membaca dan meninggalkan komentar Pak Suryadi…

  5. edratna says:

    Cerita tentang Gunung Guntur ini dimuat di Kompas beberapa waktu lalu. Daerah Jawa Barat memang indah, banyak gunung-gunung nya, tapi risikonya juga tinggi.

    • nanaharmanto says:

      Betul Bu Enny,
      Jawa Barat memang indah… dikelilingi gunung jadi tanahnya subur makmur. saya suka pemandangan desa-desa di pegunungan Jawa Barat, sambil berharap mendengar langsung alunan seruling Sunda… 😀

  6. DV says:

    Kok ga keliatan kubahnya ya?

  7. prih says:

    Gunung fenomenal yang namanya dilekatkan pada varietas kedelai Jeng. Mohon izin pinjam gambar terakhir (tetap cantumkan sumber) yang cantik sekali, kipas aluvialnya nampak jelas. Salam

    • nanaharmanto says:

      [..] Gunung fenomenal yang namanya dilekatkan pada varietas kedelai

      maksudnya gimana nih Mbak Prih?

      Monggo, silakan saja meminjam foto disertai sumbernyam Mbak… 🙂

Leave a reply to Suryadi Wihardja Cancel reply