Superdad (part 3)

(Catatan: sebaiknya baca dulu Superdad part 1 dan Superdad part 2)

Tuhan tolonglah

Sampaikan sejuta sayangku untuknya

Ku trus berjanji takkan khianati pintanya

Ayah dengarlah

Betapa sesungguhnya ku mencintaimu

Kan kubuktikan kumampu penuhi maumu

(Yang Terbaik Bagimu by Ada Band, 2004)


Aku memang sangat sayang pada papa. Tapi, hampir tak pernah aku mengungkapkannya secara lisan. Papa yang pendiam, dan sangat berwibawa pastilah tidak secara sengaja ingin menciptakan “jarak” dengan anak-anaknya.

Mungkin karena papa jarang berbicara dan mengungkapkan perasaannya, kami jarang pula berbagi cerita. Lha wong papa juga sangat sibuk dengan kegiatan gereja, jadi jarang pula berada di rumah. Kepada mama-lah kami lebih leluasa bercerita dan bermanja. Lebih nyambung, lebih sreg rasanya.

Aku harus meninggalkan rumah untuk tinggal di asrama saat melanjutkan sekolah di sebuah SMA swasta di Yogyakarta. Sebulan sekali aku baru bisa pulang ke rumah. Tak kusangka, di waktu itulah kurasakan hubunganku dengan papa justru semakin dekat.

Di sekolah aku mulai belajar komputer karena komputer memang merupakan kegiatan ekskul yang wajib diikuti oleh seluruh siswa. Di saat yang sama, ternyata diam-diam papa mulai belajar komputer pada seorang bruder atasannya.

Waktu itu, ndilalah, hanya papa seorang yang ingin mengenal teknologi komputer. Papa yang pintar cepat sekali menguasai komputer. Aku benar-benar kalah telak dalam hal ini. Kemampuan komputerku juauuuhhh…. di bawah papa.

Untuk memuaskan dahaganya akan perangkat canggih ini, kadang-kadang papa pulang larut karena di kantor masih sibuk pencat-pencet keybord atau klak klik mousenya. Angkat dua jempol untuk papa yang selalu ingin mempelajari dan menguasai hal-hal baru. He’s really very smart..

Tahun 1997, di tahun kedua kuliahku, krisis moneter melanda. Perusahaan tempat papa bekerja terkena imbasnya.

Perusahaan percetakan swasta itu mengalami kemunduran dan akhirnya nyaris bangkrut. Teknologi terus berubah cepat, berlari pesat, menepikan mesin-mesin percetakan yang sudah kuno dan kurang efektif.

Tragis memang, perusahaan yang pernah berjaya di awal tahun 1970-an hingga 1990-an ini dengan pahit harus mengakui bahwa mesin-mesin dari Inggris pencetak huruf timah itu tak lagi mampu bersaing dengan perusahaan offset yang lebih modern dan bermesin otomatis.

Dengan berat, kebijakan dikeluarkan. Para karyawan di-pensiun-kan lebih dini. Untunglah, papa termasuk salah satu dari sedikit karyawan yang masih dipertahankan karena kualitasnya.

Harus diakui, kawan, komputer-lah yang menjembatani kesenjangan antara percetakan kuno dengan teknologi offset yang jauh lebih canggih. Dan papa memiliki anugrah itu: Ketrampilannya dalam menguasai komputer.

Aku selalu terharu mengingat papa yang dengan gigihnya belajar tanpa berputus asa. Sampai jam 7 malam, bahkan 9 malam, hingga tak jarang membuat keluarga resah. Kenapa papa tak kunjung pulang?

Dengan ketrampilannya mengoperasikan komputer, papa dapat terus bekerja walau dengan gaji sangat minim. Kutahu pasti, perlu hati yang lapang dan legowo untuk menerima hal itu.Walau begitu, papa masih bisa bersyukur bahwa nasib papa lebih baik daripada rekan-rekannya yang lain.

Benar, hati papa seluas jagat raya ini…

Papa tidak pernah menceritakan tentang kesulitan keuangan yang dihadapinya kepada anak-anaknya. Pastilah luar biasa berat menanggung biaya pendidikan empat anak. Dua anak kuliah di perguruan tinggi, satu di SMA dan satu lagi di SD.

***

Kupikir, aku sungguh beruntung. Aku langsung mendapatkan pekerjaan sebagai guru di sebuah SMP dan SMA di Jakarta. Berat memang harus meninggalkan keluarga yang aku cintai untuk mencoba bertahan hidup di ibukota.

Papa harus mbolos setengah hari kerja, khusus untuk mengantarkan aku sampai di Stasiun Tugu.

Sungguh, perasaanku terbelah-belah melihat ketulusan papa.

Kapan lagi aku bisa melihat wajahnya? Berapa lama lagi aku bisa berada dekat dengan hangat hatinya yang bening?

Jakarta tak bisa berikan semua itu!!

Tetapi aku terus meyakinkan diri, bahwa aku memang harus pergi. Paling tidak, beban papa dan mama akan sedikit berkurang.

Aku tetap bisa tersenyum di depan papa. Jangan tanya isi dadaku.

Lebur!

Seharusnya aku bicara lebih banyak. Kapan lagi bisa ngobrol dengan papa? Tapi lidahku tak mampu bergerak..

Inilah yang diberikan papa sebelum aku masuk kereta.

Tanda salib kecil di dahiku.

Dari ibujari yang sama, yang menorehkan salib-salib kecil di dahi anak-anaknya. Melindungi mereka dari malam-malam pekat dan mimpi-mimpi buruk. Papa setia melakukannya, bertahun-tahun…(Tau nggak, aku banjir airmata menuliskannya)

Aku tak menangis. Ehm, maksudku, di depan papa.

Kau ingat, papaku tak suka anaknya cengeng. Ketika kereta terhentak mengambil ancang-ancang untuk lari, saat itu mataku memanas. Tentu papa tak bisa melihat mataku yang mulai berair. Ketika kereta mulai berjalan, airmataku jatuh tak terbendung.

Sosok tinggi besar itu semakin tertinggal di belakangku, kabur oleh airmataku…..

Aku tahu, papa tak pernah mengharapkan apapun dari hasilku bekerja. Tapi, tanpa diminta pun, sedapat mungkin tiap bulan aku mengirimkan sedikit dari gajiku untuk membantu biaya sekolah adik-adikku.

Hubunganku dengan papa semakin dekat saja, justru ketika jarak kami semakin jauh. Ketika  keluargaku mendapat  suatu cobaan yang sangat berat, papa menceritakan untuk pertama kalinya padaku.

Bukan pada mama. Bukan pula pada yang lain.

Papa mengirim SMS tentang kegalauannya. Singkat saja pesan itu. “Papa sedih”. Hanya dua kata itu thok.

Selama ini papa tak pernah mengungkapkan perasaannya. Jadi sekarang……..Pasti ada yang salah.

Memang hanya dua kata, namun aku dapat merasakan apa yang membuat papa begitu. Cepat-cepat aku menelepon papa.

“Pilihannya kurang bijaksana…”

Jress…aku teriris mendengar suara papa.

“Papa bingung bagaimana memberitahu mama.”

Jresss!! semakin dalam. Ngilu menusuk.

Tak pernah aku mendengar suara papa sepedih itu. Diceritakannya beban berat itu kepadaku, tentang kegalauannya. Tentang kekhawatirannya dan mungkin juga kekecewaannya.

Aku semakin pilu. Airmataku menetes. Teringat wajah papa, teringat kasih sayangnya, teringat ketulusan hatinya yang putih….

Firasatku telah memberitahuku apa yang terjadi. Walau begitu, mendengar kabar itu dari papa sendiri, membuatku lebih sedih. Terbayang wajahnya yang penuh kekecewaan. Aku tak sanggup melihat wajah itu….

Kini aku telah dewasa. Aku bisa menjadi sahabat papa untuk saat ini.

“Pa, aku pulang?”

“Jangan. Ra usah. Nanti kamu harus mbolos kerja. Mahal lagi biaya transportnya”.

“Papa baik-baik saja?”

“Ya. Papa OK”.

“Aku yakin pa, pasti papa tahu yang terbaik..”

“Ya. Papa masih bingung, takut mama tidak bisa menerima”.

“Aku yakin papa pasti menemukan cara terbaik dan waktu yang tepat”.

“Kamu sendiri bagaimana?”

Ah, aku tahu maksud papa. Papa mengkhawatirkanku. Papa tak ingin aku membuat kesalahan yang memalukan.

“Aku baik-baik saja papa, jangan kuatir”.

“Papa percaya”

Itulah pembicaraan terdalamku dengan papa untuk pertama kalinya. Tentu tak semua kutuliskan disini. Aku menyimpannya, tersembunyi di dalam sel-sel otakku. Hanya papa dan aku yang tahu persis isi pembicaraan itu sepenuhnya.

Kadang kala, aku trenyuh membaca SMS papa, tentang gajinya sekarang, tentang mama, tentang ketidakpuasannya pada pimpinan kantornya, tentang banyak hal yang mengganggunya. Mungkin memang hanya kepadaku papa terbuka, entahlah, hanya papa yang tahu.

Sejak itu, aku tegas melukis langit Jakarta dengan sebuah janji takkan mengecewakan papa. Kuselipkan tekad di tengah kebisingan kota semrawut itu bahwa aku takkan membuatnya berduka dengan kebodohanku.

Kutitipkan sumpah pada malam bermega itu, bahwa aku takkan mencederai kepercayaan papa. Takkan aku membuat kesalahan yang akan mempermalukan papa, superhero-ku..

(bersambung ke Superdad part 4)


About nanaharmanto

menulis dengan hati....
This entry was posted in Special Ones. Bookmark the permalink.

10 Responses to Superdad (part 3)

  1. Ikkyu_san says:

    aduh Naaaa, aku nangis baca ini. Jadi teringat papaku juga.

    aku juga jarang bicara dari hati-ke-hati dnegan papaku. hanya karena dia ingin buat “jarak” dan tidak mau menyusahkan anak-anaknya dengan urusan ekonomi.

    ya, papaku juga menangis di pelukanku waktu adikku yang laki-laki “hilang tak berbekas” hampir setengah tahun. Padahal hari itu hari pernikahan adikku, yang pasti akan ditanya org-org kenapa adik laki-lakiku tidak ada.

    Papa memang hebat ya!

    • nanaharmanto says:

      mbak…
      saya nangis terus nulis postingan ini…

      wah, ternyata enak menemukan yang “sehati”
      ternyata ada pengalaman yang sama ya mbak?

      nana

  2. albertobroneo says:

    speechlesss

    • nanaharmanto says:

      wah, mas….
      saya tuh mewek terus nulis postingan ini..
      sampai saya nolak menjawab telp teman saya waktu itu, karena suara saya pasti pecah. jangan sampai temen saya tau kalo saya lagi nangis, nanti dia kira saya abis digebukin orang…

      nana

  3. nanaharmanto says:

    hahaha..digebukin maling anti ronda kalee….

    nana

  4. Emak Bawel says:

    Tapi aku percaya, bahwa tidak ada kebetulan yang kebetulan, when I found my super hero, Suryo, he’s my reason to live.. (never find the right words to describe it), eventhough I’m just an Emak-emak Bawel…

    • nanaharmanto says:

      hola…..do you know?
      you are one of my heroes too…in my life, in my chidhood, in my mind…
      one million words are not enough to express how you’ve impressed me in many ways…sometimes, I’d like to write something about you, how a great sister you are..
      huks…I rarely express how I love you….

      keep in touch ya?

  5. lina says:

    hi…nana,aku dah baca tulisanmu,mmm banyakin lagi tulisanmu gak ngebosenin kok suer,..jd teringat saat di asrama ternyata waktu 1 tahun belum cukup untuk bisa menilai,memahami seseorang…..na kutunggu tulisan selanjutnya oc….

  6. nanaharmanto says:

    thx ya…semoga bisa terus produkti neh….

    salam,
    nana

Leave a reply to nanaharmanto Cancel reply